Selasa, 01 Februari 2011

ASKEP HIPERADRENAL


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang diberikan sehingga dapat terselesaikan makalah dengan judul Hiperfungsi Kelenjar Adrenal
Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Sistem Endokrin.  Program Studi D3 Keperawatan Insan Cendekia Medika Jombang. Dalam penulisan makalah ini tentunya penulis mengalami banyak hambatan dan kesulitan. Oleh karena itu penulis ucapkan terima kasih kepada tim Dosen pengajar dan pihak-pihak lain yang ikut membantu terselesaikannya makalah ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan Rahmat dan KaruniaNya kepada kita semua pihak yang telah memberikan segala bantuan tersebut diatas. Makalah ini tentu saja masih jauh dari sempurna, sehingga penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran demi perbaikan.
Akhirnya semoga makalah ini ada manfaatnya.


                                                                                         
Jombang, 17 Oktober 2010



                                                                                                Penulis


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...........................................................................................      i
KATA PENGANTAR .........................................................................................      ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................     iii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II ANATOMI FISIOLOGI KELENJAR ADRENAL
  1. Definisi Kelenjar Adrenal...........................................................................     3
  2. Bagian Kelenjar Adrenal............................................................................     3
BAB III HIPERFUNGSI KELENJAR ADRENAL
  1. Penyakit Sindrome Cushing........................................................................     7
  2. Asuhan Keperawatan Penyakit Sindrome Cushing......................................   11
BAB V PENUTUP
  1. Simpulan...................................................................................................      
  2. Saran .......................................................................................................      
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................      



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Kelenjar adrenal adalah sepasang organ yang terletak dekat kutub atas ginjal, terbenam dalam jaringan lemak. Kelenjar adrenal yang terletak di puncak ginjal menghasilkan hormone kortisol, adrenalin dan nonadrenalin di bawah pengendalian saraf simpatis. Dalam keadaan emosi, marah, takut,kelaparan, keluarnya hormone bertambah yang akan menaikan tekanan darah untuk melawan kelainan situasi (shock). Adrenallin membantu metabolisme karbohidrat dengan jalan menambah pengeluaran glukosa dalam hati, sedangkan nonadrenalin menaikan tekanan darah dengan merangsang otot dinding pembuluh darah.
Kekurangan hormone adrenal menyebabkan orang menjadi kurus, lemah, nampak seperti sakit, ginjal gagal menyimpan natrium dikarenakan telah mengeluarkan natrium terlalu banyak, disebut sakit Addison. Kalau hormone adrenalin keluar berlebihan, badan berubah gemuk, wajah seperti bengkak, bulat, kaki tangan kurus, tekanan darah tinggi, kerena ada gangguan metabolisma karbohidrat dan protein, disebut sindrom Cushing.
Namun disini penulis hanya membahas salah satu penyakit hiperfungsi kelenjar adrenal.


BAB II
ANATOMI FISIOLOGI KELENJAR ADRENAL

A.  Definisi Kelenjar Adrenal
Kelenjar adrenal adalah sepasang organ yang terletak dekat kutub atas ginjal, terbenam dalam jaringan lemak. Kelenjar ini ada 2 buah, berwarna kekuningan serta berada di luar (ekstra) peritoneal. Bagian yang sebelah kanan berbentuk pyramid dan membentuk topi (melekat) pada kutub atas ginjal kanan. Sedangkan yang sebelah kiri berbentuk seperti bulan sabit, menempel pada bagian tengah ginjal mulai dari kutub atas sampai daerah hilus ginjal kiri. Kelenjar adrenal pada manusia panjangnya 4-6 cm, lebar 1-2 cm, dan tebal 4-6 mm. Bersama-sama kelenjar adrenal mempunyai berat lebih kurang 8 g, tetapi berat dan ukurannya bervariasi bergantung umur dan keadaan fisiologi perorangan. Kelenjar ini dikelilingi oleh jaringan ikat padat kolagen yang mengandung jaringan lemak. Selain itu masing-masing kelenjar ini dibungkus oleh kapsul jaringan ikat yang cukup tebal dan membentuk sekat/septa ke dalam kelenjar.
B.  Bagian Kelenjar Adrenal
Kelenjar supraneralis jumlahnya ada 2, terdapat pada bagian atas dari ginjal kiri dan kanan. Ukurannya berbeda-beda, beratnya rata-rata 5-9 gram. Fungsi kelenjar suprarenalis terdiri dari : Mengatur keseimbangan air, elektrolit dan garam-garam, mengatur atau mempengaruhi metabolisme lemak, hidrat arang dan protein, serta mempengaruhi aktifitas jaringan limfoid.
Kelenjar suprarenalis ini terbagi atas 2 bagian, yaitu :
1.    Medula Adrenal
Medula adrenal berfungsi sebagai bagian dari system saraf otonom. Stimulasi serabut saraf simpatik pra ganglion yang berjalan langsung ke dalam sel-sel pada medulla adrenal akan menyebabkan pelepasan hormon katekolamin yaitu epinephrine dan norepinephrine. Katekolamin mengatur lintasan metabolic untuk meningkatkan katabolisme bahan bakar yang tersimpan sehingga kebutuhan kalori dari sumber-sumber endogen terpenuhi.
Efek utama pelepasan epinephrine terlihat ketika seseorang dalam persiapan untuk memenuhi suatu tantangan (respon Fight or Fligh). Katekolamin juga menyebabkan pelepasan asam-asam lemak bebas, meningkatkan kecepatan metabolic basal (BMR) dan menaikkan kadar glukosa darah.

2.    Korteks Adrenal
Korteks adrenal tersusun dari 3 zona yaitu:
a.    Zona glomerulosa,
Zona Glomerulosa terdapat tepat di bawah simpai, terdiri atas sel polihedral kecil berkelompok membentuk bulatan, berinti gelap dengan sitoplasma basofilik. Zona glomerulosa pada manusia tidak begitu berkembang. Dan merupakan penghasil hormon mineralokortikoid.
·      Hormon Mineralokortikoid
Hormon ini pada dasarnya bekerja pada tubulus renal dan epitelgastro intestinal untuk meningkatkan absorpsi ion natrium dalam proses pertukaran untuk mengeksresikan ion kalium atau hydrogen. Sekresi aldesteron hanya sedikit dipengaruhi ACTH. Hormon ini terutama disekresikan sebagai respon terhadap adanya angiotensin II dalam aliran darah.
Kenaikan kadar aldesteron menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium oleh ginjal dan traktus gastro intestinal yang cederung memulihkan tekanan darah untuk kembali normal. Pelepasan aldesteron juga ditingkatkan oleh hiperglikemia. Aldesteron merupakan hormon primer untuk mengatur keseimbangan natrim jangka panjang.
b.    Zona fasikulata
Zona fasikulata merupakan sel yang lebih tebal, terdiri atas sel polihedral besar dengan sitoplasma basofilik. Selnya tersusun berderet lurus setebal 2 sel, dengan sinusoid venosa bertingkap yang jalannya berjajar dan diantara deretan itu. Sel-sel mengandung banyak tetes lipid, fosfolipid, asam lemak, lemak dan kolesterol. Sel ini juga banyak mengandung vitamin C dan mensekresikan kortikosteroid. Dan merupakan penghasil hormon glukokortikoid.
·      Hormon Glukokortikoid
Hormon ini memiliki pengaruh yang penting terhadap metabolisme glukosa ; peningkatan hidrokortison akan meningkatan kadar glukosa darah. Glukokortikoid disekresikan dari korteks adrenal sebagai reaksi terhadap pelepasan ACTH dari lobus anterior hipofisis. Penurunan sekresi ACTH akan mengurangi pelepasan glukokortikoid dari korteks adrenal.
Glukokortikoid sering digunakan untuk menghambat respon inflamasi pada cedera jaringan dan menekan manifestasi alergi. Efek samping glukokortikoid mencakup kemungkinan timbulnya diabetes militus, osteoporosis, ulkus peptikum, peningkatan pemecahan protein yang mengakibatkan atrofi otot serta kesembuhan luka yang buruk dan redistribusi lemak tubuh. Dalam keadaan berlebih glukokortikoid merupakan katabolisme protein, memecah protei menjadi karbohidrat dan menyebabkan keseimbangan nitrogen negatif.
c.    Zona Retikularis
Lapisan ini terdiri atas deretan sel bulat bercabang – cabang berkesinambungan. Sel ini juga mengandung vitamin C. Sel-selnya penghasil hormon kelamin (progesteron , estrogen & androgen).
·      Hormon-hormon seks adrenal (Androgen)
Androgen dihasilkan oleh korteks adrenal, serta sekresinya didalam glandula adrenalis dirangsang ACTH, mungkin dengan sinergisme gonadotropin. Kelompok hormon androgen ini memberikan efek yang serupa dengan efek hormon seks pria. Kelenjar adrenal dapat pula mensekresikan sejumlah kecil estrogen atau hormon seks wanita. Sekresi androgen adrenal dikendalikan oleh ACTH. Apabila disekresikan secara berlebihan, maskulinisasi dapat terjadi seperti terlihat pada kelainan bawaan defisiensi enzim tertentu. Keadaan ini disebut Sindrom Adreno Genital.
C.  Disfungsi Kelenjar Adrenal
Disfungsi kelenjar adrenal merupakan gangguan metabolic yang menunjukkan kelebihan / defisiensi kelenjar adrenal (Rumohorbo Hotma, 1999). Klasifikasi Disfungsi Kelenjar Adrenal.
1.    Hiperfungsi Kelenjar Adrenal
a.    Sindrom Cushing
Sindrom Cushing disebabkan oleh sekresi berlebihan steroid adrenokortikal, terutama kortisol. Gejala klinis bisa juga ditemukan oleh pemberian dosis farmakologis kortikosteroid sintetik.
b.    Sindrom Adrenogenital
Penyakit yang disebabkan oleh kegagalan sebagian atau menyeluruh, satu atau beberapa enzim yang dibutuhkan untuk sintesis steroid.
c.    Hiperaldosteronisme
1)   Hiperaldosteronisme primer (Sindrom Cohn)
Kelaianan yang disebabkan karena hipersekresi aldesteron autoimun

2)    Aldosteronisme sekunder
Kelainan yang disebabkan karena hipersekresi rennin primer, ini disebabkan oleh hiperplasia sel juksta glomerulus di ginjal.
2.    Hipofungsi Kelenjar Adrenal
a.    Insufisiensi Adrenogenital :
1)   Insufisiensi Adrenokortikal Akut (krisis adrenal)
Kelainan yang terjadi karena defisiensi kortisol absolut atau relatif yang terjadi mendadak sehubungan sakit / stress.
2)    Insufisiensi Adrenokortikal Kronik Primer (Penyakit Addison)
Kelainan yang disebabkan karena kegagaln kerja kortikosteroid tetapi relatif lebih penting adalah defisiensi gluko dan mineralokortikoid.
3)   Insufisiensi Adreno Kortikal Sekunder
Kelainan ini merupakan bagian dari sinsrom kegagalan hipofisis anterior respon terhadap ACTH terhambat atau menahun oleh karena atrofi adrenal.


BAB III
HIPERFUNGSI KELENJAR ADRENAL

1.    Definisi
Hiperfungsi Kelenjar adrenal merupakan gangguan metabolic yang menunjukkan kelebihan / defisiensi kelenjar adrenal (Rumohorbo Hotma, 1999).
Sindrom Cushing adalah keadan klinik yang terjadi akibat dari paparan terhadap glukokortikoid sirkulasi dengan jumlah yang berlebihan untuk waktu yang lama. (Green Span, 1998).
Syndrome cushing merupakan gambaran klinis yang timbul akibat peningkatan glukokortikoid plasma jangka panjang dalam dosisi farmakologik (latrogen).(Wiliam F. Ganang , Fisiologi Kedokteran, Hal 364).
Syndrome cushing di sebabkan oleh skresi berlebihan steroid adrenokortial terutama kortisol.(IDI). Edisi III Jilid I, hal 826).
Syndrome Cuhsing merupakan akibat rumatan dari kadar kortisol darah yang tinggi secara abnormal karena hiperfungsi korteks adrenal. (Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15 Hal 1979).
Syndrome cuhsing adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh efek metabolic gabungan dari peninggian kadar glikokortikoid dalam darah yang menetap. ( patofisiologi, hal 1089 )
Penyakit Cushing didefinisikan sebagai bentuk spesifik tumor hipofisis yang berhubungan sekresi ACTH hipofisis berlebihan.
2.    Klasifikasi
Sindrom Cushing dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, yaitu :
a.    Penyakit Cushing
Merupakan tipe Sindroma Cushing yang paling sering ditemukan berjumlah kira-kira 70 % dari kasus yang dilaporkan. Penyakit Cushing lebih sering pada wanita (8:1, wanita : pria) dan umur saat diagnosis biasanya antara 20-40 tahun.
b.    Hipersekresi ACTH Ektopik
Kelainan ini berjumlah sekitar 15 % dari seluruh kasus Sindroma Cushing. Sekresi ACTH ektopik paling sering terjadi akigat karsinoma small cell di paru-paru; tumor ini menjadi penyebab pada 50 % kasus sindroma ini tersebut. Sindroma ACTH ektopik lebih sering pada laki-laki. Rasio wanita : pria adalah 1:3 dan insiden tertinggi pada umur 40-60 tahun.
c.    Tumor-tumor Adrenal Primer
Tumor-tumor adrenal primer menyebabkan 17-19 % kasus-kasus Sindroma Cushing. Adenoma-adenoma adrenal yang mensekresi glukokortikoid lebih sering terjadi pada wanita. Karsinoma-karsinoma adrenokortikal yang menyebabkan kortisol berlebih juga lebih sering terjadi pada wanita; tetapi bila kita menghitung semua tipe, maka insidens keseluruhan lebih tinggi pada laki-laki. Usia rata-rata pada saat diagnosis dibuat adalah 38 tahun, 75 % kasus terjadi pada orang dewasa.
d.    Sindroma Cushing pada Masa Kanak-kanak
Sindroma Cushing pada masa kanak-kanak dan dewasa jelas lebih berbeda. Karsinoma adrenal merupakan penyebab yang paling sering dijumpai (51 %), adenoma adrenal terdapat sebanyak 14 %. Tumor-tumor ini lebih sering terjadi pada usia 1 dan 8 tahun. Penyakit Cushing lebih sering terjadi pada populasi dewasa dan berjumlah sekitar 35 % kasus, sebagian besar penderita-penderita tersebut berusia lebih dari 10 tahun pada saat diagnosis dibuat, insidens jenis kelamin adalah sama.
3.    Etiologi
ü  Glukokortikoid yang berlebih
ü  Aktifitas korteks adrenal yang berlebih
ü  Hiperplasia korteks adrenal
ü  Pemberian kortikosteroid yang berlebih
ü  Sekresi steroid adrenokortikal yang berlebih terutama kortisol
ü  Tumor-tumor non hipofisis
ü  Adenoma hipofisis
ü  Tumor adrenal
4.    Patofisiologi
Hiperplasia primer kelenjar adrenal dalam keadaan tanpa adanya tumor hipofisis jarang terjadi. Pemberian kostikosteroid atau ACTH dapat pula menimbulkan sindrom cushing. Penyebab lain sindrom cushing yang jarang dijumpai adalah produksi ektopik ACTH oleh malignitas, karsinoma bronkogenik merupakan tipe malignitas yang paling sering ditemukan. Tanpa tergantung dari penyebabnya, mekanisme umpan balik normal untuk mengendalikan fungsi korteks adrenal menjadi tidak efektif dan pola sekresi diurnal kortisol yang normal akan menghilang. Tanda dan gejala cushing sindrom terutam terjadi sebagai akibat dari sekresi glukokortikoid dan androgen yang berlebihan, meskipun sekresi mineralokortikoid juga dapat terpengaruh.
5.    Manifestasi Klinis
Dapat digolongkan menurut faal hormon korteksadrenal yaitu : cortisol, 17 ketosteroid, aldosteron dan estrogen.
a.    Gejala hipersekresi kortisol (hiperkortisisme) yaitu :
1)   Obesitas yang sentrifetal dan “moon face”.
2)   Kulit tipis sehingga muka tampak merah, timbul strie dan ekimosis.
3)   Otot-otot mengecil karena efek katabolisme protein.
4)   Osteoporosis yang dapat menimbulkan fraktur kompresi dan kifosis.
5)   Aterosklerosis yang menimbulkan hipertensi.
6)   Diabetes melitus.
7)   Alkalosis, hipokalemia dan hipokloremia.
b.    Gejala hipersekresi 17 ketosteroid :
1)   Hirsutisme.
2)   Suara dalam.
3)   Timbul akne.
4)   Amenore atau impotensi.
5)   Pembesaran klitoris.
6)   Otot-otot bertambah (maskulinisasi)
c.    Gejala hipersekresi aldosteron.
1)   Hipertensi.
2)   Hipokalemia.
3)   Hipernatremia.
4)   Diabetes insipidus nefrogenik.
5)   Edem (jarang)
6)   Volume plasma bertambah
Bila gejala ini yang menyolok, terutama 2 gejala pertama, disebut penyakit Conn atau hiperaldosteronisme primer.
d.    Gejala hipersekresi estrogen (jarang)
Pada sindrom cushing yang paling karakteristik adalah gejala hipersekresi kortisol, kadang-kadang bercampur gejala-gejala lain. Umumnya mulainya penyakit ini tidak jelas diketahui, gejala pertama ialah penambahan berat badan. Sering disertai gejala psikis sampai psikosis.
Penyakit ini hilang timbul, kemudian terjadi kelemahan, mudah infeksi, timbul ulkus peptikum dan mungkin fraktur vertebra. Kematian disebabkan oleh kelemahan umum, Penyakit serebrovaskuler (CVD) dan jarang-jarang oleh koma diabetikum.
6.    Pemeriksaan Penunjang
a.    CT Scan
Untuk menunjukkan pembesaran adrenal pada kasus sindro cushing.
b.    Photo Scanning
c.    Pemeriksaan adrenal mengharuskan pemberian kortisol radio aktif secara intravena.
d.    Pemeriksaan Elektro Kardiografi
Untuk menentukan adanya hipertensi (endokrinologi edisi hal 437)
7.    Pengobatan
Pengobatan sindrom cushing tergantung ACTH tidak seragam, bergantung apakah sumber ACTH adalah hipofisis / ektopik.
a.    Jika dijumpai tumor hipofisis. Sebaiknya diusahakan reseksi tumor tranfenoida.
b.    Jika terdapat bukti hiperfungsi hipofisis namun tumor tidak dapat ditemukan maka sebagai gantinya dapat dilakukan radiasi kobait pada kelenjar hipofisis.
c.    Kelebihan kortisol juga dapat ditanggulangi dengan adrenolektomi total dan diikuti pemberian kortisol dosis fisiologik.
d.    Bila kelebihan kortisol disebabkan oleh neoplasma disusul kemoterapi pada penderita dengan karsinoma/ terapi pembedahan.
e.    Digunakan obat dengan jenis metyropone, amino gluthemide o, p-ooo yang bisa mensekresikan kortisol ( Patofisiologi Edisi 4 hal 1093 ).






Asuhan Keperawatan Hiperfungsi Kelenjar Adrenal

1.    Pengkajian
a.    Identitas
a)    Lebih lazim sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dan mempunyai insiden puncak antara usia 20 dan 30 tahun.
b.    Riwayat Keperawatan
1)   Keluhan Utama
a)    Adanya memar pada kulit, pasien. Mengeluh lemah, terjadi kenaikan berat badan.
2)   Riwayat Penyakit Sekarang
b)   Pasien mengatakan ada memar pada kulit.
3)   Riwayat Penyakit Dahulu
c)    Kaji apakah pasien pernah mengkonsumsi obat-obatan kartekosteroid dalam jangka waktu yang lama.
4)   Riwayat Penyakit Keluarga
d)   Kaji apakah keluarga pernah menderita penyakit cushing sindrom.
c.    Pemeriksaan Fisik
1)   Sistem Pernapasan
a)    Inspeksi            : Pernapasan cuping hidung kadang terlihat, tidak terlihat retraksi intercouste hidung, pergerakan dada simetris
b)   Palpasi : Vocal premilis teraba rate, tidak terdapat nyeri tekan
c)    Perkusi             : Suara sonor
d)   Auskultasi         : Terdengar bunyi nafas normal, tidak terdengar bunyi nafas tambahan ronchi wheezing
2)   Sistem Kardiovaskuler
a)    Inspeksi            : Ictus cordis tidak tampak
b)   Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS 4-5 mid klavikula
c)    Perkusi             : Pekak
d)   Auskultasi         : S1 S2 Terdengar tunggal
3)   Sistem Pencernaan
a)    Mulut                : Mukosa bibir kering
b)   Tenggorokan     : Tidak dapat pembesaran kelenjar tiroid
c)    Limfe                : Tidak ada pembesaran vena jugularis
d)   Abdoment        :
a)   Inspeksi       : Simetris tidak ada benjolan
b)   Palpasi         : Tidak terdapat nyeri tekan
c)   Perkusi         : Suara redup
d)   Auskultasi    : Tidak terdapat bising usus
4)   Sistem Eliminasi
e)    Tidak ada gangguan eliminasi
5)   Sistem Persyarafan
f)     Composmentis (456)
6)   Sistem Integument / ekstrimitas
g)    Kulit, Adanya perubahan-perubahan warna kulit, berminyak, jerawat, petekie, penipisan kulit, hiperpigmentasi, hirsutisme, moon face.
7)   Sistem Muskulus keletal
h)    Tulang              :Terjadi osteoporosis
i)      Otot                 :Terjadi kelemahan

2.    Diagnosa Keperawatan
1)   Kelebihan volume cairan b.d sekresi kortisol berlebih karena sodium dan retensi cairan
2)   Intoleransi aktivitas b.d kelemahan otot dan perubahan metabolisme protein
3)   Resiko infeksi b.d penurunan respon imun, respon inflamasi
4)   Resiko cidera b.d kelemahan
5)   Gangguan integritas kulit b.d kerusakan proses penyembuhan, penipisan dan kerapuhan kulit
6)   Gangguan body image b.d perubahan integumen, perubahan fungsi sexual
7)   Perubahan proses piker b.d sekresi kortisol berlebih
8)   Defisit perawatan diri b.d penurunan masa otot
9)   Kurang pengetahuan b.d kurang informasi mengenai pengobatan, proses penyakit dan perawatan




3.    Intervensi Keperawatan
Dx 1                   :
-       Kelebihan volume cairan b.d sekresi kortisol berlebih karena sodium dan retensi cairan
Tujuan                 :             
-       Klien menunjukkan keseimbangan volume cairan setelah dilakukan tindakan keperawatan
Kriteria Hasil :
-       TD : 100/60 – 120/80 mmHg
-       N : 60 – 100 x/mnt
-       RR : 16 – 24 x/mnt
-       Edema (-)
-       Intake output seimbang
-       BB dalam batas normal
-       Hasil lab : Na: 138-145 mEq
-       K : 3,4-4,7 mEq
-       Cl: 98-106 mEq
Intervensi            :
1)   Ukur intake output
R/ Menunjukkan status volume sirkulasi terjadinya perpindahan cairan dan respon terhadap nyeri
2)   Hindari intake cairan berlebih ketika pasien hipernatremia
R/ Memberikan beberapa rasa kontrol dalam menghadapi upaya pembatasan
3)   Ukur TTV (TD, N, RR) setiap 2 jam
R/ TD meningkat, nadi menurun dan RR meningkat menunjukkan kelebihan cairan
4)   Timbang BB klien
R/ Perubahan pada berat badan menunjukkan gangguan keseimbangan cairan
5)   Monitor ECG untuk abnormalitas (ketidakseimbangan elektrolit)
R/ Hipernatremi dan hipokalemi menunjukkan indikasi kelebihan cairan
6)   Lakukan alih baring setiap 2 jam
R/ Alih baring dapat memperbaiki metabolisme
7)   Kolaborasi hasil lab (elektrolit : Na, K, Cl)
R/ Menunjukkan retensi cairan dan harus dibatasi
8)   Kolaborasi dalam pemberian tinggi protein, tinggi potassium dan rendah sodium
R/ Menurunkan retensi cairan
Dx 2.                  :
-       Intoleransi aktivitas b.d kelemahan otot dan perubahan metabolisme protein
Tujuan                 :
-       Klien menunjukkan aktifitaskembali normal setelah dilakukan tindakan keperawatan
Kriteria Hasil       :
-       Menunjukkan peningkatan kemampuan dan berpartisipasi dalam aktivitas
-       Kelemahan (-)
-       Kelelahan (-)
-       TTV dbn saat / setelah melakukan aktifitas
-       TD : 120/80 mmHg
-       N : 60-100 x/mnt
-       RR : 16-20 x/mnt
Intervensi :
1)   Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktifitas
R/ Mengetahui tingkat perkembangan klien dalam melakukan aktivitas
2)   Tingkatkan tirah baring / duduk
R/ Periode istirahat merupakan tehnik penghematan energi
3)   Catat adanya respon terhadap aktivitas seperti :takikardi, dispnea, fatique
R/ Respon tersebut menunjukkan peningkatan O2, kelelahan dan kelemahan
4)   Tingkatkan keterlibatan pasien dalam beraktivitas sesuai kemampuannya
R/ Menambah tingkat keyakinan pasien dan harga dirinya secar baik sesuai dengan tingkat aktivitas yang ditoleransi
5)   Berikan bantuan aktivitas sesuai dengan kebutuhan
R/ Memenuhi kebutuhan aktivitas klien
6)   Berikan aktivitas hiburan yang tepat seperti : menonton TV dan mendengarkan radio
R/ Meningkatkan relaksasi dan penghematan energi, memusatkan kembali perhatian dan meningkatkan koping
Dx 3.                  :
-       Resiko infeksi b.d penurunan respon imun, respon inflamasi
Tujuan                 :
-       Infeksi tidak terjadi setelah dilakukan intervensi
Kriteria Hasil       :
-       Tanda-tanda infeksi (tumor, calor, dolor, rubor, fungsio laesa) tidak ada
-       Suhu normal : 36,5-37,1 C
-       Hasil lab : Leukosit : 5000-10.000 gr/dL
Intervensi :
1)   Kaji tanda-tanda infeksi
R/ Adanya tanda-tanda infeksi (tumor, rubor, dolor, calor, fungsio laesa) merupakan indicator adanya infeksi
2)   Ukur TTV setiap 8 jam
R/ Suhu yang meningkat merupan indicator adanya infeksi
3)   Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan
R/ Mencegah timbulnya infeksi silang
4)   Batasi pengunjung sesuai indikasi
R/ Mengurangi pemajanan terhadap patogen infeksi lain
5)   Tempatkan klien pada ruang isolasi sesuai indikasi
R/ Tehnik isolasi mungkin diperlukan untuk mencegah penyebaran / melindungi pasien dari proses infeksi lain
6)   Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi
R/ Terapi antibiotik untuk mengurangi resiko terjadinya infeksi nosokomial
7)   Kolaborasi pemeriksaan lab (Leukosit)
R/ Leukosit meningkat indikasi terjadinya infeksi
Dx 4                   :
-       Resiko cedera b.d kelemahan
Tujuan                 :
-       Klien tidak mengalami cidera setelah dilakukan intervensi
Kriteria Hasil       :
-       Cedera jaringan lunak (-)
-       Fraktur (-)
-       Ekimosis (-)
-       Kelemahan (-)
Intervensi            :
1)   Ciptakan lingkungan yang protektif / aman
R/ Lingkungan yang protektif dapat mencegah jatuh, fraktur dan cedera lainnya pada tulang dan jaringan lunak
2)   Bantu klien saat ambulansi
R/ Kondisi yang lemah sangat beresiko terjatuh / terbentur sat ambulasi
3)   Berikan penghalang tempat tidur / tempat tidur dengan posisi yang rendah
R/ Menurunkan kemungkinan adanya trauma
4)   Anjurkan kepada klien untuk istirahat secara adekuat dengan aktivitas yang sedang
R/ Memudahkan proses penyembuhan
5)   Anjurkan klien untuk diet tinggi protein, kalsium dan vitamin D
R/ Untuk meminimalkan pengurangan massa otot
6)   Kolaborasi pemberian obat-obatan seperti sedative
R/ Dapat meningkatkan istirahat
Dx 5.                  :
-       Gangguan integritas kulit b.d kerusakan proses penyembuhan, penipisan dan kerapuhan kulit
Tujuan                 :
-       Klien menunjukkan integritas kulit kembali utuh setelah dilakukan tindakan keperawatan
Kriteria Hasil       :
-       Penipisan kulit (-)
-       Petechie (-)
-       Ekimosis (-)
-       Edema pada ekstremitas (-)
-       Keadaan kulit baik dan utuh
-       Striae (-)
Intervensi            :
1)   Kaji ulang keadaan kulit klien
R/ Mengetahui kelaianan / perubahan kulit serta untuk menentukan intervensi selanjutnya
2)   Ubah posisi klien tiap 2 jam
R/ Meminimalkan / mengurangi tekanan yang berlebihan didaerah yang menonjol serta melancarkan sirkulasi
3)   Hindari penggunaan plester
R/ Penggunaan plester dapat menimbulkan iritasi dan luka pada kulit yang rapuh
4)   Berikan lotion non alergik dan bantalan pada tonjolan tulang dan kulit
R/ Dapat mengurangi lecet dan iritasi
Dx 6.                  :
-       Gangguan body image b.d perubahan integumen, perubahan fungsi sexual
Tujuan                 :
-       Klien menunjukkan gambaran diri yang positif setelah dilakukan tindakan keperawatan
Kriteria Hasil       :
-       Klien dapat mengekspresikan perasaanya terhadap perubahan penampilannya
-       Klien dapat mengutarakan perasaannya tentang perubahan sexual
-       Klien dapat menyebutkan tanda dan gejala yang terjadi selama pengobatan
-       Klien dapat melakukan personal hygine setiap hari
Intervensi            :
1)   Ciptakan lingkungan yang kondusif dengan klien mengenai perubahan body image yang dialami
R/ Lingkungan yang kondusif dapat memudahkan klien untuk mengungkapkan perasaannya
2)   Beri penguatan terhadap mekanisme koping yang positif
R/ Membantu klien dalam meningkatkan dan mempertahankan kontrol dan membantu mengembangkan harga diri klien
3)   Berikan informasi pada klien mengenai gejala yang berhubungan dengan pengobatan
R/ Dengan diberikan penjelasan tersebut, klien dapat menerima perubahan pada dirinya
4)   Diskusikan dengan klien tentang perasaan klien karena perubahan tersebut
R/ Mendiagnosa perubahan konsep diri didasarkan pada pengetahuan dan persepsi klien
5)   Jaga privacy klien
R/ Meningkatkan harga diri klien
6)   Beri dukungan pada klien dan jadilah pendengar yang baik
R/ Memberikan dukungan dapat memotivasi klien untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar

7)   Kolaborasi dengan ahli psikolog
R/ Pasien mungkin membutuhkan dukungan selama berhadapan dengan proses jangka panjang ketidakmampuan
Dx. 7                  :
-       Perubahan proses pikir berhubungan dengan sekresi cortisol berlebih.
Tujuan                 :
-       Klien menunjukkan Tidak terjadi perubahan proses pikir.
Kriteria Hasil       :
-       Klien mempraktekkan teknik relaksasi.
-       Klien mendiskusikan perasaannya dengan mudah.
-       Klien dapat berorientasi terhadap lingkungan.
Intervensi            :
1)   Orientasikan pada tempat, orang dan waktui.
R/ Dapat memolong mempertahankan orientasi dan menurunkan kebingungan.
2)   Tetapkan jadwal perawatan rutin untuk memberikan waktu istirahat yang teratur.
R/ Menaikkan orientasi dan mencegah kelelahan yang berlebihan.
3)   Anjurkan klien untuk melakukan perawatan diri sendiri sesuai kemampuan.
R/ Mempertahankan orientasi pada lingkungan.
4)   Ajarkan teknik relaksasi.
R/ Teknik relaksasi dapat mempengaruhi proses pikir, sehingga klien dapat lebih tenang.
5)   Berikan tindakan yang stabil, terang dan tidak menimbulkan stress.
R/ Tindakan yang stabil, tenang dan tidak menimbulkan stress memperbaiki proses pikir.
Dx. 8                  :
-       Defisit perawatan diri berhubungan dengan penurunan masa otot
Tujuan                 :
-       Klien menunjukkan perawatan diri yang maksimal.
Kriteria Hasil       :
-       Kelemahan (-)
-       Keletihan (-)
-       Klien ikut serta dalam aktivitas perawatan diri.
-       Klien mengalami peningkatan dalam perawatan diri.
-       Klien bebas dari komplikasi imobilitas.
Intervensi            :
1)   Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas perawatan diri.
R/ Dapat mengetahui kemampuan klien dan memudahkan intervensi selanjutnya.
2)   Bantu klien dalam melakukan aktivitas perawatan diri.
R/ Pemenuhan kebutuhan perawatan diri klien.
3)   Libatkan keluarga dalam aktivitas perawatan diri klien.
R/ Keluarga merupakan orang terdekat dalam pemenuhan kebutuhan perawatan diri klien.
4)   Rencanakan aktivitas dan latihan klien.
R/ Istirahat klien tidak terganggu dengan adanya aktivitas dan latihan yang terencana.
5)   Berikan dorongan untuk melakukan perawatan diri kepada klien dan atur aktivitasnya.
R/ Dapat mencegah komplikasi imobilitas.
6)   Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman
R/ Lingkungan yang tenang dan nyaman dapat menaikan istirahat dan tidur.
Dx. 9                  :
-       Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai pengobatan, proses penyakit dan perawatan.
Tujuan                 :
-       Pengetahuan klien bertambah.
Kriteria Hasil       :
-       Klien mengatakan pemahaman penyebab masalah.
-       Klien mendemonstrasikan pemahaman tentang pengertian, etiologi, tanda dan gejala serta perawatannya.
-       Klien mau berpartisipasi dalam proses belajar.
Intervensi            :
1)   Kaji pengetahuan klien tentang etiologi, tanda dan gejala serta perawatan.
R/ Membuat data dasar dan mengidentifikasi kebutuhan terhadap informasi.
2)   Identifikasi data dasar / gejala harus dilaporkan dengan segera pada pemberi pelayanan kesehatan.
R/ Evaluasi dan intervensi yang segera dapat mencegah terjadinya komplikasi.

3)   Berikan informasi tentang perawatan pada klien dengan sindrom cushing.
R/ Mempermudah dalam melakukan intervensi dan menaikan pengetahuan klien.
4)   Berikan perlindungan (isolasi) bila diindikasikan.
R/ Teknik isolasi mungkin diperlukan unutk mencegah penyebaran / melindungi pasien dari proses infeksi lain.
5)   Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R/ Therapi antibiotik untuk mengurangi resiko terjadinya infeksi nosokomial.
6)   Kolaborasi pemeriksaan lab (leukosit)
R/ Leukosit yang meningkat indikasi terjadinya infeksi.






















DAFTAR PUSTAKA
Doenges Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta:ECG
Ganong, F. William. 1999. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Ed 17. Jakarta : Penerbit EGC.
Guyton A. C, Hall J.E. 1996. Textbook Of Medical Physiology, Ed 9. Philadelphia : W.B.Saunders Company.
Haznam W.M. 1991. Endokrinologi, Ed. 4. Bandung : Percetakan angkasa offset.
Lawrence M. T. Jr, Stephen J. McP, Maxine A. P. 2001. Current Medical Diagnosis And Treatment. McGraw : Hill Companies.
Price, Sylvia. 2005. Patofisiologi. Edisi 6. Jakarta : EGC
Saputra, Lyndon dr. 2002 . Kapita selekta kedokteran jilid 1. Batam:Binarupa Aksara.
Sjamsuhidayat, R, Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah-Ed.2. Jakarta : EGC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar