Selasa, 01 Februari 2011

anatomi sistem kulit


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Kulit atau integumen merupakn salah satu organik terbesar dari tubuh dimana kilit membentuk 15% dari berat badan keseluruhan. Kulit mempunyai regenarasi yang besar, misalnya jika kulit terluka, maka sel-sel dalam dermis melawan infeksi lokal kapiler dan jaringan ikat akan mengalami regenerasi epitel yang tumbuh dari tepi luka menutupi jaringan iakt yang berregenerasi sehingga terbentuk jaringan parut yang pada mulanya berwarna kemerahan karena meningkatnya

makalah sindrom steven johnson


BAB I
PENDAHULUAN
       I.            Latar belakang
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.
Etiologi SSJ suit ditentukan dengan pasti, karena

endoftalmitis


                   Endoftalmitis DEFINISI Endoftalmitis adalah peradangan pada



Endoftalmitis
DEFINISI
Endoftalmitis adalah peradangan pada seluruh lapisan mata bagian dalam, cairan dalam bola mata (humor vitreus) dan bagian putih mata (sklera).

PENYEBAB
Penyebab terjadinya infeksi adalah:
Luka yang menusuk mata

makalah katarak dan keratitis


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji syukur kehadirat Allah YME karena atas rahmat dan hidayah-Nya saya selaku penulis akhirnya dapat menyelesaikan makalah Keperawatan dengan tema “KERATITIS DAN KATARAK” sebagai  tugas keleompok dalam semester ini.
Makalah ini disusun dari berbagai sumber reverensi yang relevan, baik buku-buku diktat kedokteran dan keperawatan, artikel-artikel nasional dan internasional dari internet dan lain sebagainya. Semoga saja makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri khususnya maupun bagi para pembaca pada umumnya.
Tentu saja sebagai manusia, penulis tidak dapat terlepas dari kesalahan. Dan penulis menyadari makalah yang dibuat ini jauh dari sempurna. Karena itu penulis merasa perlu untuk meminta maaf jika ada sesuatu yang dirasa kurang.
Penulis mengharapkan masukan baik berupa saran maupun kritikan demi perbaikan yang selalu perlu untuk dilakukan agar kesalahan - kesalahan dapat diperbaiki di masa yang akan datang.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.                              




                                                                                                                                                    PENULIS



BAB I
KERATITIS
A.    Definisi
Keratitis adalah suatu peradangan pada kornea/radang selaput bening mata.
Keratitis ulseratif yang lebih dikenal sebagai ulserasi kornea yaitu terdapatnya destruksi (kerusakan) pada bagian epitel kornea. (Darling,H Vera, 2000, hal 112)
B.    Etiologi
Faktor penyebab antara lain:

askep retino blastoma


Askep retinoblastoma - Askep retinoblastoma berikut ini adalah askep retinoblastoma teman-teman dapat mendowload dan mengcopynya silahkan menuju menu askep-askep untuk pilihan askep lainnya untuk askep dengan klien retino blastoma silahkan baca di bawah ini cek it dot
ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN SISTEM PENGLIHATAN RETINOBLASTOMA

I.      ANATOMI FISIOLOGI RETINA

Retina adalah suatu membran yang tipis dan bening, terdiri atas penyebaran daripada serabut-serabut saraf optik. Letaknya antara badan kaca dan koroid. Bagian anterior berakhir pada ora serata, di bagian retina yang letaknya sesuai dengan sumbu penglihatan terdapat makula lutea (bintik kuning) kira-kira berdiameter 1 – 2 mm yang  berperan  penting  untuk  tajam penglihatan.  Di  tengah  makula  lutea  terdapat bercak mengkilap yang merupakan reflek fovea. Kira-kira 3 mm ke arah nasal kutub belakang bola mata terdapat daerah bulat putih kemerah-merahan, disebut papil saraf optik,  yang  di  tengahnya  agak  melekuk  dinamakan  eksvakasi  foali.  Arteri  retina sentral bersama venanya masuk ke dalam bola mata di tengah papil saraf optik.

Retina meluas ke depan hampir mencapai badan siliaris. Struktur ini tersusun dalam 10 lapisan dan mengandung sel batang (rods) dan sel kerucut (cones), yang merupakan reseptor penglihatan, ditambah 4 jenis neuron:

1.   Sel bipolar

2.   Sel ganglion

3.   Sel horizontal

4.   Sel amakrin

Karena lapisan saraf pada retina disatukan bersama-sama oleh sel-sel glia yang disebut sel muller. Tonjolan-tonjolan dari sel-sel ini membentuk membran pembatas dalam di permukaan dalam retina dan membran pembatas luar di lapisan reseptor.

Retina berbatas dengan koroid dengan sel pigmen epitel retina, dan terdiri atas lapisan:

1.   Lapis fotoreseptor, merupakan lapis terluar retina terdiri atas sel batang yang mempunyai bentuk ramping, dan sel kerucut.

2.   Membran limitan eksterna yang merupakan membran ilusi.

3.   Lapis nukleus, merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan batang.

Ketiga lapis di atas avaskular dan mendapat metabolisme dari kapiler koroid.

4.   Lapis pleksiform luar, merupakan lapis aseluler dan merupakan tempat sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.

5.   Lapis nukleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel muller lapis ini mendapat metabolisme dari arteri retina sentral.

6.   Lapis pleksiform dalam, merupakan lapis aseluler merupakan tempat sinaps sel tripolar, sel amakrin dengan sel ganglion.

7.   Lapis sel ganglion yang merupakan lapis badan sel daripada neuron kedua.

8.   Lapis serabut saraf, merupakan lapis akson sel ganglion menuju ke arah saraf optik. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah retina.

9.   Membran limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan kaca.

Warna  retina  biasanya  jingga  dan  kadang-kadang  pucat  pada  anemia  dan iskemia dan merah pada hyperemia.

Untuk  melihat  fungsi  retina  maka  dilakukan  pemeriksaan  subjektif  retina seperti: tajam penglihatan, penglihatan warna, dan lapang pandangan. Pemeriksaan objektif adalah:

-     Elektroretino-gram (ERG)

-     Elektro-okulogram (EOG)

-     Visual Evoked Respons (VER)

•     Fungsi Retina

Fungsi  retina  pada  dasarnya  adalah  menerima  bayangan  visual  yang dikirim  ke  otak.  Bagian  sentral  retina  atau  daerah  makula  mengandung  lebih banyak fotoreseptor kerucut daripada bagian perifer retina.

-     Sel kerucut (cones) yang berjumlah 7 juta dan paling banyak di region fovea, berfungsi  untuk  sensasi  yang  nyata  (penglihatan  yang  paling  tajam)  dan penglihatan warna.

-     Sel batang (rods) untuk sensasi yang sama-samar pada waktu malam atau cahaya  remang.  Sel  ini  mengandung  pigmen  visual  ungu  yang  disebut rhodopsin.

•     Komponen-komponen Retina

II.    PENGERTIAN

Retinoblastoma adalah tumor retina yang terdiri atas sel neuroblastik yang tidak berdiferensiasi dan merupakan tumor ganas retina pad anak.

40  %  penderita  retinoblastoma  merupakan  penyakit  herediten.  Retinoblastoma merupakan tumor yang bersifat autosomal dominan dan merupakan tumor embrional.

Sebagian besar penderita dengan retinoblastoma aktif ditemukan pada usia 3 tahun, sedang bila terdapat binokuler biasanya terdapat pada usia lebih muda atau 10 bulan.

Retinoblastoma dapat ditemukan dalam bentuk yang regresi terutama pada anak-anak.

Pada saat terakhir ini terlihat kenaikan jumlah anak menderita retinoblastoma di Indonesia. Kenaikan insiden tumor ini mungkin sekali akibat sudah meningkatnya penerangan  akan  tumor  pada  anak,  sehingga  prang  tua  penderita  lebih  cepat memeriksakan mata anaknya.



III.  PENYEBAB

Retinoblastoma  terjadi  karena  kehilangan  kedua  kromosom  dari  satu  alel dominan protektif yang berada dalam pita kromosom 13g14. Bisa karena mutasi atau diturunkan.

Mutasi terjadi akibat perubahan pada rangkaian basa DNA. Peristiwa ini dapat timbul karena kesalahan replikasi, gerakan, atau perbaikan sel. Mutasi dalam sebuah sel benih akan ditransmisikan kepada turunan sel tersebut. Sejumlah faktor, termasuk virus, zat kimia, sinar ultraviolet, dan radiasi pengion, akan meningkatkan laju mutasi. Mutasi kerapkali mengenai sel somatic dan kemudian diteruskan kepada generasi sel berikutnya dalam suatu generasi.

IV.  PATOFISIOLOGI

Retinoblastoma merupakan tumor ganas utama intraokuler yang ditemukan pada anak-anak, terutama pada usia di bawah 5 tahun. Tumor berasal dari jaringan retina embrional, dapat terjadi unilateral (70 %) dan bilateral (30 %). Sebagian besar kasus bilateral bersifat herediten yang diwariskan melalui kromosom.

Massa  tumor  dapat  tumbuh  ke  dalam  vitreous  (endofilik)  dan  tumbuh menembus keluar lapisan retina atau ke ruang sub retina (endofilik). Kadang-kadang tumor berkembang difus.

Pertumbuhan  endofilik  lebih  umum  terjadi.  Tumor  endofilik  timbul  dari lapisan inti dalam lapisan serabut saraf dan lapisan ganglion retina. Tipe eksofilik timbul dari lapisan inti luar dan dapat terlihat seperti ablasio retina yang solid.

Perluasan  retina  okuler  ke  dalam  tumor  vitreous  dapat  terjadi  pada  tipe endofilik dan dapat timbul sebaran metastase lewat spatium subretina atau melalui tumor vitreous. Selain itu tumor dapat meluas lewat infiltrasi pada lamina cribrosa langsung ke nervus optikus dengan perluasan ke lapisan koroid dapat ditemukan infiltrasi vena-vena pada daerah tersebut disertai metastasis hematogen ke tulang dan sumsung tulang.

Tumor mata ini, terbagi atas IV stadium, masing-masing:

•     Stadium I: menunjukkan tumor masih terbatas pada retina (stadium tenang)

•     Stadium II: tumor terbatas pada bola mata.

•     Stadium III: terdapat perluasan ekstra okuler regional, baik yang melampaui ujung nervus optikus yang dipotong saat enuklasi.

•     Stadium IV: ditemukan metastase jauh ke dalam otak.

Pada  beberapa  kasus  terjadi  penyembuhan  secara  spontan,  sering  terjadi perubahan degeneratif, diikuti nekrosis dan klasifikasi. Pasien yang selamat memiliki kemungkinan 50 % menurunkan anak dengan retinoblastoma.


V.    TANDA DAN GEJALA

1.   Leukokoria merupakan keluhan dan gejala yang paling sering ditemukan.

2.   Tanda dini retinoblastoma adalah mata juling, mata merah atau terdapatnya warna iris yang tidak normal.

3.   Tumor dengan ukuran sedang akan memberikan gejala hipopion, di dalam bilik mata depan, uveitis, endoftalmitis, ataupun suatu panoftalmitis.

4.   Bola mata menjadi besar, bila tumor sudah menyebar luas di dalam bola mata.

5.   Bila terjadi nekrosis tumor, akan terjadi gejala pandangan berat.

6.   Tajam penglihatan sangat menurun.

7.   Nyeri

8.   Pada tumor yang besar, maka mengisi seluruh rongga badan kaca sehingga badan kaca terlihat benjolan berwarna putih kekuning-kuningan dengan pembuluh darah di atasnya.



VI.  PEMERIKSAAN PENUNJANG

-     Ultrasonografi dan tomografi komputer dilakukan terutama untuk pasien dengan metastase ke luar misalnya dengan gejala proptosis bola mata.

-     Elektroretino-gram (ERG), berguna untuk menilai kerusakan luas pada retina.

-     Elektro-okulogram (EOG)

-     Visual  Evoked  Respons  (VER),  berguna  untuk  mengetahui  adanya  perbedaan rangsangan yang sampai ke korteks sehingga dapat diketahui adanya gangguan rangsangan/penglihatan pada seseorang.



VII. PENATALAKSANAAN

Semua tujuan terapi adalah merusak tumor dan mempertahankan penglihatan yang  memungkinkan  tanpa  membahayakan  hidup.  Terapi  primer  retinoblastoma unilateral biasanya enuklasi, kendatipun pada kasus-kasus tertentu, alternatif seperti krioterapi, fotokoagulan atau radiasi dapat dipertimbangkan.

•     Bila  tumor  masih  terbatas  intraokuler,  pengobatan  dini  mempunyai  prognosis yang baik, tergantung dari letak, besar dan tebal.

•     Pada  tumor  yang  masih  intraokuler  dapat  dilakukan  krioterapi,  fotokoagulasi laser, atau kombinasi sitostatik dan fotokoagulasi laser untuk mempertahankan visus.

•     Pada  tumor  intraokuler  yang  sudah  mencapai  seluruh  vitreous  dan  visus  nol, dilakukan enuklasi.

•     Bila  tumor  telah  keluar  bulbus  okuli,  tapi  masih  terbatas  di  rongga  orbita, dilakukan kombinasi eksenterasi, radioterapi, dan kemoterapi.

Pasien  harus  terus  dievaluasi  seumur  hidup  karena  20  –  90  %  pasien retinoblastoma bilateral akan menderita tumor ganas primer, terutama osteosarkoma.



VIII. PROGNOSIS

Tumor  mempunyai  prognosis  baik  bila  ditemukan  dini  dan  intraokuler. Prognosis  sangat  buruk  bila  sudah  tersebar  ekstra  ocular  pada  saat  pemeriksaan pertama. Tumor dapat masuk ke dalam otak melalui saraf optik yang terkena infiltrasi sel tumor.



ASUHAN KEPERAWATAN

I.      Pengkajian

A.    Pengkajian yang penting untuk retinoblastoma

1.   Sejak kapan sakit mata dirasakan

Penting untuk mengetahui perkembangan penyakitnya, dan sejauhmana perhatian klien dan keluarganya terhadap masalah yang dialami. Retinoblastoma mempunyai prognosis baik bila ditemukan dini.

2.   Riwayat trauma sebelum atau sesudah ada keluhan

Trauma dapat memberikan kerusakan pada seluruh lapis kelopak ataupun bola  mata.  Trauma  sebelumnya  dapat  juga  memberikan  kelainan  pada  mata tersebut sebelum meminta pertolongan.

3.   Apakah ada keluarga yang menderita penyakit yang sama sebelumnya

Retinoblastoma  bersifat  herediter  yang  diwariskan  melalui  kromosom, protein  yang  selamat  memiliki  kemungkinan  50  %  menurunkan  anak  dengan retinoblastoma.

4.   Apakah pasien merasakan adanya perubahan dalam matanya.

Retinoblastoma dapat menyebabkan bola mata menjadi besar.

5.   Apakah ada keluhan lain yang menyertai

Keluhan  sakit  kepala  merupakan  keluhan  paling  sering  diberikan  oleh penderita. Adanya keluhan pada organ lain juga bisa diakibatkan oleh tumor yang bermetastase.

6.   Penyakit mata sebelumnya

Kadang-kadang  dengan  mengetahui  riwayat  penyakit  mata  sebelumnya akan  dapat  menerangkan  tambahan  gejala-gejala  penyakit  yang  dikeluhkan penderita.

7.   Penyakit lain yang sedang diderita

Bila sedang menderita penyakit lain dengan keadaan yang buruk, dapat pula memperburuk keadaan klien

8.   Usia penderita

Dikenal    beberapa   jenis    penyakit   yang    terjadi   pada   usia    tertentu. Retinoblastoma  umumnya  ditemukan  pada  anak-anak,  terutama  pada  usia  di bawah 5 tahun.

9.   Riwayat Psikologi

a.   Reaksi pasien dana keluarganya terhadap gangguan penglihatan yang dialami pasien: cemas, takut, gelisah, sering menangis, sering bertanya.

b.   Mekanisme koping

10. Pemeriksaan Fisik Umum

Diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya keadaan umum yang dapat merupakan penyebab penyakit mata yang sedang diderita.

11. Pemeriksaan Khusus Mata

a.   Pemeriksaan tajam penglihatan

Pada retinoblastoma, tumor dapat menyebar luas di dalam bola mata sehingga  dapat  merusak  semua  organ  di  mata  yang  menyebabkan  tajam penglihatan sangat menurun.

b.   Pemeriksaan gerakan bola mata

Pembesaran tumor dalam rongga mata akan menekan saraf dan bahkan dapat merusak saraf tersebut dan apabila mengenai saraf III, IV, dan VI maka akan menyebabkan mata juling.

c.   Pemeriksaan susunan mata luar dan lakrimal

Pemeriksaan dimulai dari kelopak mata, sistem lakrimal, konjungtiva, kornea,   bilik   mata   depan,   iris,   lensa   dan   pupil.   Pada   retinoblastoma didapatkan:

-     Leukokoria

Yaitu reflek pupil yang berwarna putih.

-     Hipopion

Yaitu terdapatnya nanah di bilik mata depan.

-     Hifema

Yaitu terdapatnya darah di bilik mata depan

-     Uveitis

d.   Pemeriksaan Pupil

Leukokoria (refleks pupil yang berwarna putih) merupakan keluhan dan   gejala   yang    paling          sering    ditemukan         pada      penderita      dengan retinoblastoma.

e.   Pemeriksaan funduskopi

Menggunakan  oftalmoskopi  untuk  pemeriksaan  media,  papil  saraf optik, dan retina. Refleksi tak ada (atau gelap) akibat perdarahan yang banyak dalam badan kaca.

f.    Pemeriksaan tekanan bola mata

Pertumbuhan tumor ke dalam bola mata menyebabkan tekanan bola mata meningkat.



B.     Pengelompokan Data

•     Data Subjektif

-     Mengeluh nyeri pada mata

-     Sulit melihat dengan jelas

-     Mengeluh sakit kepala

-     Merasa takut

•     Data Objektif

-     Mata juling (strabismus)

-     Mata merah

-     Bola mata besar

-     Aktivitas kurang

-     Tekanan bola mata meningkat

-     Gelisah

-     Refleks pupil berwarna putih (leukokoria)

-     Tajam penglihatan menurun

-     Sering menangis

-     Keluarga sering bertanya

-     Ekspresi meringis

-     Tak akurat mengikuti instruksi

-     Keluarga nampak murung

-     Keluarga nampak gelisah

-     Pertanyaan/pernyataan keluarga salah konsepsi



II.     Diagnosa Keperawatan

1.   Gangguan    rasa    nyaman     nyeri    sehubungan     dengan    proses    penyakitnya

(kompresi/dekstruksi jaringan saraf, inflamasi), ditandai dengan:

-     Keluhan nyeri

-     Aktivitas kurang (distraksi/perilaku berhati-hati)

-     Gelisah (respons autonomik)

-     Sering menangis

-     Keluhan sakit kepala

-     Ekspresi meringis

2.   Gangguan    persepsi     sensorik     penglihatan     sehubungan    dengan    gangguan penerimaan sensori dari organ penerima, ditandai dengan:

-     Menurunnya ketajaman penglihatan

-     Mata juling (strabismus)

-     Mata merah

-     Bola mata membesar

-     Tekanan bola mata meningkat

-     Refleks pupil berwarna putih (leukokoria)

3.   Gangguan rasa aman cemas, sehubungan dengan:

-     Perubahan status kesehatan

-     Adanya nyeri

-     Kemungkinan/kenyataan kehilangan penglihatan

Ditandai dengan:

-     Merasa takut

-     Gelisah

-     Sering menangis

-     Sering bertanya

4.   Resiko  tinggi  cedera,  sehubungan  dengan  keterbatasan  lapang  pandang  yang ditandai dengan:

-     Menurunnya ketajaman penglihatan

-     Mata juling (strabismus)

-     Tekanan bola mata meningkat

-     Refleks pupil berwarna putih (leukokoria)

5.   Kurangnya  pengetahuan  keluarga  sehubungan  dengan  kurangnya  informasi mengenai penyakit anaknya yang ditandai dengan:

-     Tak akurat mengikuti instruksi

-     Keluarga nampak murung

-     Keluarga nampak gelisah

-     Pertanyaan/pernyataan keluarga salah konsepsi
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn, E., et. al., 1999, Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan  dan  Pendokumentasian  Perawatan  Pasien,  Edisi  3,  EGC, Jakarta.

Ganong, William, F., 1998, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 17, EGC, Jakarta.

Mansjoer, A., et. al. 2001, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, Edisi III, Cetakan IV, Media Aekulapius. FK-UI, Jakarta.

ASKEP HIPERADRENAL


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang diberikan sehingga dapat terselesaikan makalah dengan judul Hiperfungsi Kelenjar Adrenal
Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Sistem Endokrin.  Program Studi D3 Keperawatan Insan Cendekia Medika Jombang. Dalam penulisan makalah ini tentunya penulis mengalami banyak hambatan dan kesulitan. Oleh karena itu penulis ucapkan terima kasih kepada tim Dosen pengajar dan pihak-pihak lain yang ikut membantu terselesaikannya makalah ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan Rahmat dan KaruniaNya kepada kita semua pihak yang telah memberikan segala bantuan tersebut diatas. Makalah ini tentu saja masih jauh dari sempurna, sehingga penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran demi perbaikan.
Akhirnya semoga makalah ini ada manfaatnya.


                                                                                         
Jombang, 17 Oktober 2010



                                                                                                Penulis


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...........................................................................................      i
KATA PENGANTAR .........................................................................................      ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................     iii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II ANATOMI FISIOLOGI KELENJAR ADRENAL
  1. Definisi Kelenjar Adrenal...........................................................................     3
  2. Bagian Kelenjar Adrenal............................................................................     3
BAB III HIPERFUNGSI KELENJAR ADRENAL
  1. Penyakit Sindrome Cushing........................................................................     7
  2. Asuhan Keperawatan Penyakit Sindrome Cushing......................................   11
BAB V PENUTUP
  1. Simpulan...................................................................................................      
  2. Saran .......................................................................................................      
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................      



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Kelenjar adrenal adalah sepasang organ yang terletak dekat kutub atas ginjal, terbenam dalam jaringan lemak. Kelenjar adrenal yang terletak di puncak ginjal menghasilkan hormone kortisol, adrenalin dan nonadrenalin di bawah pengendalian saraf simpatis. Dalam keadaan emosi, marah, takut,kelaparan, keluarnya hormone bertambah yang akan menaikan tekanan darah untuk melawan kelainan situasi (shock). Adrenallin membantu metabolisme karbohidrat dengan jalan menambah pengeluaran glukosa dalam hati, sedangkan nonadrenalin menaikan tekanan darah dengan merangsang otot dinding pembuluh darah.
Kekurangan hormone adrenal menyebabkan orang menjadi kurus, lemah, nampak seperti sakit, ginjal gagal menyimpan natrium dikarenakan telah mengeluarkan natrium terlalu banyak, disebut sakit Addison. Kalau hormone adrenalin keluar berlebihan, badan berubah gemuk, wajah seperti bengkak, bulat, kaki tangan kurus, tekanan darah tinggi, kerena ada gangguan metabolisma karbohidrat dan protein, disebut sindrom Cushing.
Namun disini penulis hanya membahas salah satu penyakit hiperfungsi kelenjar adrenal.


BAB II
ANATOMI FISIOLOGI KELENJAR ADRENAL

A.  Definisi Kelenjar Adrenal
Kelenjar adrenal adalah sepasang organ yang terletak dekat kutub atas ginjal, terbenam dalam jaringan lemak. Kelenjar ini ada 2 buah, berwarna kekuningan serta berada di luar (ekstra) peritoneal. Bagian yang sebelah kanan berbentuk pyramid dan membentuk topi (melekat) pada kutub atas ginjal kanan. Sedangkan yang sebelah kiri berbentuk seperti bulan sabit, menempel pada bagian tengah ginjal mulai dari kutub atas sampai daerah hilus ginjal kiri. Kelenjar adrenal pada manusia panjangnya 4-6 cm, lebar 1-2 cm, dan tebal 4-6 mm. Bersama-sama kelenjar adrenal mempunyai berat lebih kurang 8 g, tetapi berat dan ukurannya bervariasi bergantung umur dan keadaan fisiologi perorangan. Kelenjar ini dikelilingi oleh jaringan ikat padat kolagen yang mengandung jaringan lemak. Selain itu masing-masing kelenjar ini dibungkus oleh kapsul jaringan ikat yang cukup tebal dan membentuk sekat/septa ke dalam kelenjar.
B.  Bagian Kelenjar Adrenal
Kelenjar supraneralis jumlahnya ada 2, terdapat pada bagian atas dari ginjal kiri dan kanan. Ukurannya berbeda-beda, beratnya rata-rata 5-9 gram. Fungsi kelenjar suprarenalis terdiri dari : Mengatur keseimbangan air, elektrolit dan garam-garam, mengatur atau mempengaruhi metabolisme lemak, hidrat arang dan protein, serta mempengaruhi aktifitas jaringan limfoid.
Kelenjar suprarenalis ini terbagi atas 2 bagian, yaitu :
1.    Medula Adrenal
Medula adrenal berfungsi sebagai bagian dari system saraf otonom. Stimulasi serabut saraf simpatik pra ganglion yang berjalan langsung ke dalam sel-sel pada medulla adrenal akan menyebabkan pelepasan hormon katekolamin yaitu epinephrine dan norepinephrine. Katekolamin mengatur lintasan metabolic untuk meningkatkan katabolisme bahan bakar yang tersimpan sehingga kebutuhan kalori dari sumber-sumber endogen terpenuhi.
Efek utama pelepasan epinephrine terlihat ketika seseorang dalam persiapan untuk memenuhi suatu tantangan (respon Fight or Fligh). Katekolamin juga menyebabkan pelepasan asam-asam lemak bebas, meningkatkan kecepatan metabolic basal (BMR) dan menaikkan kadar glukosa darah.

2.    Korteks Adrenal
Korteks adrenal tersusun dari 3 zona yaitu:
a.    Zona glomerulosa,
Zona Glomerulosa terdapat tepat di bawah simpai, terdiri atas sel polihedral kecil berkelompok membentuk bulatan, berinti gelap dengan sitoplasma basofilik. Zona glomerulosa pada manusia tidak begitu berkembang. Dan merupakan penghasil hormon mineralokortikoid.
·      Hormon Mineralokortikoid
Hormon ini pada dasarnya bekerja pada tubulus renal dan epitelgastro intestinal untuk meningkatkan absorpsi ion natrium dalam proses pertukaran untuk mengeksresikan ion kalium atau hydrogen. Sekresi aldesteron hanya sedikit dipengaruhi ACTH. Hormon ini terutama disekresikan sebagai respon terhadap adanya angiotensin II dalam aliran darah.
Kenaikan kadar aldesteron menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium oleh ginjal dan traktus gastro intestinal yang cederung memulihkan tekanan darah untuk kembali normal. Pelepasan aldesteron juga ditingkatkan oleh hiperglikemia. Aldesteron merupakan hormon primer untuk mengatur keseimbangan natrim jangka panjang.
b.    Zona fasikulata
Zona fasikulata merupakan sel yang lebih tebal, terdiri atas sel polihedral besar dengan sitoplasma basofilik. Selnya tersusun berderet lurus setebal 2 sel, dengan sinusoid venosa bertingkap yang jalannya berjajar dan diantara deretan itu. Sel-sel mengandung banyak tetes lipid, fosfolipid, asam lemak, lemak dan kolesterol. Sel ini juga banyak mengandung vitamin C dan mensekresikan kortikosteroid. Dan merupakan penghasil hormon glukokortikoid.
·      Hormon Glukokortikoid
Hormon ini memiliki pengaruh yang penting terhadap metabolisme glukosa ; peningkatan hidrokortison akan meningkatan kadar glukosa darah. Glukokortikoid disekresikan dari korteks adrenal sebagai reaksi terhadap pelepasan ACTH dari lobus anterior hipofisis. Penurunan sekresi ACTH akan mengurangi pelepasan glukokortikoid dari korteks adrenal.
Glukokortikoid sering digunakan untuk menghambat respon inflamasi pada cedera jaringan dan menekan manifestasi alergi. Efek samping glukokortikoid mencakup kemungkinan timbulnya diabetes militus, osteoporosis, ulkus peptikum, peningkatan pemecahan protein yang mengakibatkan atrofi otot serta kesembuhan luka yang buruk dan redistribusi lemak tubuh. Dalam keadaan berlebih glukokortikoid merupakan katabolisme protein, memecah protei menjadi karbohidrat dan menyebabkan keseimbangan nitrogen negatif.
c.    Zona Retikularis
Lapisan ini terdiri atas deretan sel bulat bercabang – cabang berkesinambungan. Sel ini juga mengandung vitamin C. Sel-selnya penghasil hormon kelamin (progesteron , estrogen & androgen).
·      Hormon-hormon seks adrenal (Androgen)
Androgen dihasilkan oleh korteks adrenal, serta sekresinya didalam glandula adrenalis dirangsang ACTH, mungkin dengan sinergisme gonadotropin. Kelompok hormon androgen ini memberikan efek yang serupa dengan efek hormon seks pria. Kelenjar adrenal dapat pula mensekresikan sejumlah kecil estrogen atau hormon seks wanita. Sekresi androgen adrenal dikendalikan oleh ACTH. Apabila disekresikan secara berlebihan, maskulinisasi dapat terjadi seperti terlihat pada kelainan bawaan defisiensi enzim tertentu. Keadaan ini disebut Sindrom Adreno Genital.
C.  Disfungsi Kelenjar Adrenal
Disfungsi kelenjar adrenal merupakan gangguan metabolic yang menunjukkan kelebihan / defisiensi kelenjar adrenal (Rumohorbo Hotma, 1999). Klasifikasi Disfungsi Kelenjar Adrenal.
1.    Hiperfungsi Kelenjar Adrenal
a.    Sindrom Cushing
Sindrom Cushing disebabkan oleh sekresi berlebihan steroid adrenokortikal, terutama kortisol. Gejala klinis bisa juga ditemukan oleh pemberian dosis farmakologis kortikosteroid sintetik.
b.    Sindrom Adrenogenital
Penyakit yang disebabkan oleh kegagalan sebagian atau menyeluruh, satu atau beberapa enzim yang dibutuhkan untuk sintesis steroid.
c.    Hiperaldosteronisme
1)   Hiperaldosteronisme primer (Sindrom Cohn)
Kelaianan yang disebabkan karena hipersekresi aldesteron autoimun

2)    Aldosteronisme sekunder
Kelainan yang disebabkan karena hipersekresi rennin primer, ini disebabkan oleh hiperplasia sel juksta glomerulus di ginjal.
2.    Hipofungsi Kelenjar Adrenal
a.    Insufisiensi Adrenogenital :
1)   Insufisiensi Adrenokortikal Akut (krisis adrenal)
Kelainan yang terjadi karena defisiensi kortisol absolut atau relatif yang terjadi mendadak sehubungan sakit / stress.
2)    Insufisiensi Adrenokortikal Kronik Primer (Penyakit Addison)
Kelainan yang disebabkan karena kegagaln kerja kortikosteroid tetapi relatif lebih penting adalah defisiensi gluko dan mineralokortikoid.
3)   Insufisiensi Adreno Kortikal Sekunder
Kelainan ini merupakan bagian dari sinsrom kegagalan hipofisis anterior respon terhadap ACTH terhambat atau menahun oleh karena atrofi adrenal.


BAB III
HIPERFUNGSI KELENJAR ADRENAL

1.    Definisi
Hiperfungsi Kelenjar adrenal merupakan gangguan metabolic yang menunjukkan kelebihan / defisiensi kelenjar adrenal (Rumohorbo Hotma, 1999).
Sindrom Cushing adalah keadan klinik yang terjadi akibat dari paparan terhadap glukokortikoid sirkulasi dengan jumlah yang berlebihan untuk waktu yang lama. (Green Span, 1998).
Syndrome cushing merupakan gambaran klinis yang timbul akibat peningkatan glukokortikoid plasma jangka panjang dalam dosisi farmakologik (latrogen).(Wiliam F. Ganang , Fisiologi Kedokteran, Hal 364).
Syndrome cushing di sebabkan oleh skresi berlebihan steroid adrenokortial terutama kortisol.(IDI). Edisi III Jilid I, hal 826).
Syndrome Cuhsing merupakan akibat rumatan dari kadar kortisol darah yang tinggi secara abnormal karena hiperfungsi korteks adrenal. (Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15 Hal 1979).
Syndrome cuhsing adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh efek metabolic gabungan dari peninggian kadar glikokortikoid dalam darah yang menetap. ( patofisiologi, hal 1089 )
Penyakit Cushing didefinisikan sebagai bentuk spesifik tumor hipofisis yang berhubungan sekresi ACTH hipofisis berlebihan.
2.    Klasifikasi
Sindrom Cushing dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, yaitu :
a.    Penyakit Cushing
Merupakan tipe Sindroma Cushing yang paling sering ditemukan berjumlah kira-kira 70 % dari kasus yang dilaporkan. Penyakit Cushing lebih sering pada wanita (8:1, wanita : pria) dan umur saat diagnosis biasanya antara 20-40 tahun.
b.    Hipersekresi ACTH Ektopik
Kelainan ini berjumlah sekitar 15 % dari seluruh kasus Sindroma Cushing. Sekresi ACTH ektopik paling sering terjadi akigat karsinoma small cell di paru-paru; tumor ini menjadi penyebab pada 50 % kasus sindroma ini tersebut. Sindroma ACTH ektopik lebih sering pada laki-laki. Rasio wanita : pria adalah 1:3 dan insiden tertinggi pada umur 40-60 tahun.
c.    Tumor-tumor Adrenal Primer
Tumor-tumor adrenal primer menyebabkan 17-19 % kasus-kasus Sindroma Cushing. Adenoma-adenoma adrenal yang mensekresi glukokortikoid lebih sering terjadi pada wanita. Karsinoma-karsinoma adrenokortikal yang menyebabkan kortisol berlebih juga lebih sering terjadi pada wanita; tetapi bila kita menghitung semua tipe, maka insidens keseluruhan lebih tinggi pada laki-laki. Usia rata-rata pada saat diagnosis dibuat adalah 38 tahun, 75 % kasus terjadi pada orang dewasa.
d.    Sindroma Cushing pada Masa Kanak-kanak
Sindroma Cushing pada masa kanak-kanak dan dewasa jelas lebih berbeda. Karsinoma adrenal merupakan penyebab yang paling sering dijumpai (51 %), adenoma adrenal terdapat sebanyak 14 %. Tumor-tumor ini lebih sering terjadi pada usia 1 dan 8 tahun. Penyakit Cushing lebih sering terjadi pada populasi dewasa dan berjumlah sekitar 35 % kasus, sebagian besar penderita-penderita tersebut berusia lebih dari 10 tahun pada saat diagnosis dibuat, insidens jenis kelamin adalah sama.
3.    Etiologi
ü  Glukokortikoid yang berlebih
ü  Aktifitas korteks adrenal yang berlebih
ü  Hiperplasia korteks adrenal
ü  Pemberian kortikosteroid yang berlebih
ü  Sekresi steroid adrenokortikal yang berlebih terutama kortisol
ü  Tumor-tumor non hipofisis
ü  Adenoma hipofisis
ü  Tumor adrenal
4.    Patofisiologi
Hiperplasia primer kelenjar adrenal dalam keadaan tanpa adanya tumor hipofisis jarang terjadi. Pemberian kostikosteroid atau ACTH dapat pula menimbulkan sindrom cushing. Penyebab lain sindrom cushing yang jarang dijumpai adalah produksi ektopik ACTH oleh malignitas, karsinoma bronkogenik merupakan tipe malignitas yang paling sering ditemukan. Tanpa tergantung dari penyebabnya, mekanisme umpan balik normal untuk mengendalikan fungsi korteks adrenal menjadi tidak efektif dan pola sekresi diurnal kortisol yang normal akan menghilang. Tanda dan gejala cushing sindrom terutam terjadi sebagai akibat dari sekresi glukokortikoid dan androgen yang berlebihan, meskipun sekresi mineralokortikoid juga dapat terpengaruh.
5.    Manifestasi Klinis
Dapat digolongkan menurut faal hormon korteksadrenal yaitu : cortisol, 17 ketosteroid, aldosteron dan estrogen.
a.    Gejala hipersekresi kortisol (hiperkortisisme) yaitu :
1)   Obesitas yang sentrifetal dan “moon face”.
2)   Kulit tipis sehingga muka tampak merah, timbul strie dan ekimosis.
3)   Otot-otot mengecil karena efek katabolisme protein.
4)   Osteoporosis yang dapat menimbulkan fraktur kompresi dan kifosis.
5)   Aterosklerosis yang menimbulkan hipertensi.
6)   Diabetes melitus.
7)   Alkalosis, hipokalemia dan hipokloremia.
b.    Gejala hipersekresi 17 ketosteroid :
1)   Hirsutisme.
2)   Suara dalam.
3)   Timbul akne.
4)   Amenore atau impotensi.
5)   Pembesaran klitoris.
6)   Otot-otot bertambah (maskulinisasi)
c.    Gejala hipersekresi aldosteron.
1)   Hipertensi.
2)   Hipokalemia.
3)   Hipernatremia.
4)   Diabetes insipidus nefrogenik.
5)   Edem (jarang)
6)   Volume plasma bertambah
Bila gejala ini yang menyolok, terutama 2 gejala pertama, disebut penyakit Conn atau hiperaldosteronisme primer.
d.    Gejala hipersekresi estrogen (jarang)
Pada sindrom cushing yang paling karakteristik adalah gejala hipersekresi kortisol, kadang-kadang bercampur gejala-gejala lain. Umumnya mulainya penyakit ini tidak jelas diketahui, gejala pertama ialah penambahan berat badan. Sering disertai gejala psikis sampai psikosis.
Penyakit ini hilang timbul, kemudian terjadi kelemahan, mudah infeksi, timbul ulkus peptikum dan mungkin fraktur vertebra. Kematian disebabkan oleh kelemahan umum, Penyakit serebrovaskuler (CVD) dan jarang-jarang oleh koma diabetikum.
6.    Pemeriksaan Penunjang
a.    CT Scan
Untuk menunjukkan pembesaran adrenal pada kasus sindro cushing.
b.    Photo Scanning
c.    Pemeriksaan adrenal mengharuskan pemberian kortisol radio aktif secara intravena.
d.    Pemeriksaan Elektro Kardiografi
Untuk menentukan adanya hipertensi (endokrinologi edisi hal 437)
7.    Pengobatan
Pengobatan sindrom cushing tergantung ACTH tidak seragam, bergantung apakah sumber ACTH adalah hipofisis / ektopik.
a.    Jika dijumpai tumor hipofisis. Sebaiknya diusahakan reseksi tumor tranfenoida.
b.    Jika terdapat bukti hiperfungsi hipofisis namun tumor tidak dapat ditemukan maka sebagai gantinya dapat dilakukan radiasi kobait pada kelenjar hipofisis.
c.    Kelebihan kortisol juga dapat ditanggulangi dengan adrenolektomi total dan diikuti pemberian kortisol dosis fisiologik.
d.    Bila kelebihan kortisol disebabkan oleh neoplasma disusul kemoterapi pada penderita dengan karsinoma/ terapi pembedahan.
e.    Digunakan obat dengan jenis metyropone, amino gluthemide o, p-ooo yang bisa mensekresikan kortisol ( Patofisiologi Edisi 4 hal 1093 ).






Asuhan Keperawatan Hiperfungsi Kelenjar Adrenal

1.    Pengkajian
a.    Identitas
a)    Lebih lazim sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dan mempunyai insiden puncak antara usia 20 dan 30 tahun.
b.    Riwayat Keperawatan
1)   Keluhan Utama
a)    Adanya memar pada kulit, pasien. Mengeluh lemah, terjadi kenaikan berat badan.
2)   Riwayat Penyakit Sekarang
b)   Pasien mengatakan ada memar pada kulit.
3)   Riwayat Penyakit Dahulu
c)    Kaji apakah pasien pernah mengkonsumsi obat-obatan kartekosteroid dalam jangka waktu yang lama.
4)   Riwayat Penyakit Keluarga
d)   Kaji apakah keluarga pernah menderita penyakit cushing sindrom.
c.    Pemeriksaan Fisik
1)   Sistem Pernapasan
a)    Inspeksi            : Pernapasan cuping hidung kadang terlihat, tidak terlihat retraksi intercouste hidung, pergerakan dada simetris
b)   Palpasi : Vocal premilis teraba rate, tidak terdapat nyeri tekan
c)    Perkusi             : Suara sonor
d)   Auskultasi         : Terdengar bunyi nafas normal, tidak terdengar bunyi nafas tambahan ronchi wheezing
2)   Sistem Kardiovaskuler
a)    Inspeksi            : Ictus cordis tidak tampak
b)   Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS 4-5 mid klavikula
c)    Perkusi             : Pekak
d)   Auskultasi         : S1 S2 Terdengar tunggal
3)   Sistem Pencernaan
a)    Mulut                : Mukosa bibir kering
b)   Tenggorokan     : Tidak dapat pembesaran kelenjar tiroid
c)    Limfe                : Tidak ada pembesaran vena jugularis
d)   Abdoment        :
a)   Inspeksi       : Simetris tidak ada benjolan
b)   Palpasi         : Tidak terdapat nyeri tekan
c)   Perkusi         : Suara redup
d)   Auskultasi    : Tidak terdapat bising usus
4)   Sistem Eliminasi
e)    Tidak ada gangguan eliminasi
5)   Sistem Persyarafan
f)     Composmentis (456)
6)   Sistem Integument / ekstrimitas
g)    Kulit, Adanya perubahan-perubahan warna kulit, berminyak, jerawat, petekie, penipisan kulit, hiperpigmentasi, hirsutisme, moon face.
7)   Sistem Muskulus keletal
h)    Tulang              :Terjadi osteoporosis
i)      Otot                 :Terjadi kelemahan

2.    Diagnosa Keperawatan
1)   Kelebihan volume cairan b.d sekresi kortisol berlebih karena sodium dan retensi cairan
2)   Intoleransi aktivitas b.d kelemahan otot dan perubahan metabolisme protein
3)   Resiko infeksi b.d penurunan respon imun, respon inflamasi
4)   Resiko cidera b.d kelemahan
5)   Gangguan integritas kulit b.d kerusakan proses penyembuhan, penipisan dan kerapuhan kulit
6)   Gangguan body image b.d perubahan integumen, perubahan fungsi sexual
7)   Perubahan proses piker b.d sekresi kortisol berlebih
8)   Defisit perawatan diri b.d penurunan masa otot
9)   Kurang pengetahuan b.d kurang informasi mengenai pengobatan, proses penyakit dan perawatan




3.    Intervensi Keperawatan
Dx 1                   :
-       Kelebihan volume cairan b.d sekresi kortisol berlebih karena sodium dan retensi cairan
Tujuan                 :             
-       Klien menunjukkan keseimbangan volume cairan setelah dilakukan tindakan keperawatan
Kriteria Hasil :
-       TD : 100/60 – 120/80 mmHg
-       N : 60 – 100 x/mnt
-       RR : 16 – 24 x/mnt
-       Edema (-)
-       Intake output seimbang
-       BB dalam batas normal
-       Hasil lab : Na: 138-145 mEq
-       K : 3,4-4,7 mEq
-       Cl: 98-106 mEq
Intervensi            :
1)   Ukur intake output
R/ Menunjukkan status volume sirkulasi terjadinya perpindahan cairan dan respon terhadap nyeri
2)   Hindari intake cairan berlebih ketika pasien hipernatremia
R/ Memberikan beberapa rasa kontrol dalam menghadapi upaya pembatasan
3)   Ukur TTV (TD, N, RR) setiap 2 jam
R/ TD meningkat, nadi menurun dan RR meningkat menunjukkan kelebihan cairan
4)   Timbang BB klien
R/ Perubahan pada berat badan menunjukkan gangguan keseimbangan cairan
5)   Monitor ECG untuk abnormalitas (ketidakseimbangan elektrolit)
R/ Hipernatremi dan hipokalemi menunjukkan indikasi kelebihan cairan
6)   Lakukan alih baring setiap 2 jam
R/ Alih baring dapat memperbaiki metabolisme
7)   Kolaborasi hasil lab (elektrolit : Na, K, Cl)
R/ Menunjukkan retensi cairan dan harus dibatasi
8)   Kolaborasi dalam pemberian tinggi protein, tinggi potassium dan rendah sodium
R/ Menurunkan retensi cairan
Dx 2.                  :
-       Intoleransi aktivitas b.d kelemahan otot dan perubahan metabolisme protein
Tujuan                 :
-       Klien menunjukkan aktifitaskembali normal setelah dilakukan tindakan keperawatan
Kriteria Hasil       :
-       Menunjukkan peningkatan kemampuan dan berpartisipasi dalam aktivitas
-       Kelemahan (-)
-       Kelelahan (-)
-       TTV dbn saat / setelah melakukan aktifitas
-       TD : 120/80 mmHg
-       N : 60-100 x/mnt
-       RR : 16-20 x/mnt
Intervensi :
1)   Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktifitas
R/ Mengetahui tingkat perkembangan klien dalam melakukan aktivitas
2)   Tingkatkan tirah baring / duduk
R/ Periode istirahat merupakan tehnik penghematan energi
3)   Catat adanya respon terhadap aktivitas seperti :takikardi, dispnea, fatique
R/ Respon tersebut menunjukkan peningkatan O2, kelelahan dan kelemahan
4)   Tingkatkan keterlibatan pasien dalam beraktivitas sesuai kemampuannya
R/ Menambah tingkat keyakinan pasien dan harga dirinya secar baik sesuai dengan tingkat aktivitas yang ditoleransi
5)   Berikan bantuan aktivitas sesuai dengan kebutuhan
R/ Memenuhi kebutuhan aktivitas klien
6)   Berikan aktivitas hiburan yang tepat seperti : menonton TV dan mendengarkan radio
R/ Meningkatkan relaksasi dan penghematan energi, memusatkan kembali perhatian dan meningkatkan koping
Dx 3.                  :
-       Resiko infeksi b.d penurunan respon imun, respon inflamasi
Tujuan                 :
-       Infeksi tidak terjadi setelah dilakukan intervensi
Kriteria Hasil       :
-       Tanda-tanda infeksi (tumor, calor, dolor, rubor, fungsio laesa) tidak ada
-       Suhu normal : 36,5-37,1 C
-       Hasil lab : Leukosit : 5000-10.000 gr/dL
Intervensi :
1)   Kaji tanda-tanda infeksi
R/ Adanya tanda-tanda infeksi (tumor, rubor, dolor, calor, fungsio laesa) merupakan indicator adanya infeksi
2)   Ukur TTV setiap 8 jam
R/ Suhu yang meningkat merupan indicator adanya infeksi
3)   Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan
R/ Mencegah timbulnya infeksi silang
4)   Batasi pengunjung sesuai indikasi
R/ Mengurangi pemajanan terhadap patogen infeksi lain
5)   Tempatkan klien pada ruang isolasi sesuai indikasi
R/ Tehnik isolasi mungkin diperlukan untuk mencegah penyebaran / melindungi pasien dari proses infeksi lain
6)   Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi
R/ Terapi antibiotik untuk mengurangi resiko terjadinya infeksi nosokomial
7)   Kolaborasi pemeriksaan lab (Leukosit)
R/ Leukosit meningkat indikasi terjadinya infeksi
Dx 4                   :
-       Resiko cedera b.d kelemahan
Tujuan                 :
-       Klien tidak mengalami cidera setelah dilakukan intervensi
Kriteria Hasil       :
-       Cedera jaringan lunak (-)
-       Fraktur (-)
-       Ekimosis (-)
-       Kelemahan (-)
Intervensi            :
1)   Ciptakan lingkungan yang protektif / aman
R/ Lingkungan yang protektif dapat mencegah jatuh, fraktur dan cedera lainnya pada tulang dan jaringan lunak
2)   Bantu klien saat ambulansi
R/ Kondisi yang lemah sangat beresiko terjatuh / terbentur sat ambulasi
3)   Berikan penghalang tempat tidur / tempat tidur dengan posisi yang rendah
R/ Menurunkan kemungkinan adanya trauma
4)   Anjurkan kepada klien untuk istirahat secara adekuat dengan aktivitas yang sedang
R/ Memudahkan proses penyembuhan
5)   Anjurkan klien untuk diet tinggi protein, kalsium dan vitamin D
R/ Untuk meminimalkan pengurangan massa otot
6)   Kolaborasi pemberian obat-obatan seperti sedative
R/ Dapat meningkatkan istirahat
Dx 5.                  :
-       Gangguan integritas kulit b.d kerusakan proses penyembuhan, penipisan dan kerapuhan kulit
Tujuan                 :
-       Klien menunjukkan integritas kulit kembali utuh setelah dilakukan tindakan keperawatan
Kriteria Hasil       :
-       Penipisan kulit (-)
-       Petechie (-)
-       Ekimosis (-)
-       Edema pada ekstremitas (-)
-       Keadaan kulit baik dan utuh
-       Striae (-)
Intervensi            :
1)   Kaji ulang keadaan kulit klien
R/ Mengetahui kelaianan / perubahan kulit serta untuk menentukan intervensi selanjutnya
2)   Ubah posisi klien tiap 2 jam
R/ Meminimalkan / mengurangi tekanan yang berlebihan didaerah yang menonjol serta melancarkan sirkulasi
3)   Hindari penggunaan plester
R/ Penggunaan plester dapat menimbulkan iritasi dan luka pada kulit yang rapuh
4)   Berikan lotion non alergik dan bantalan pada tonjolan tulang dan kulit
R/ Dapat mengurangi lecet dan iritasi
Dx 6.                  :
-       Gangguan body image b.d perubahan integumen, perubahan fungsi sexual
Tujuan                 :
-       Klien menunjukkan gambaran diri yang positif setelah dilakukan tindakan keperawatan
Kriteria Hasil       :
-       Klien dapat mengekspresikan perasaanya terhadap perubahan penampilannya
-       Klien dapat mengutarakan perasaannya tentang perubahan sexual
-       Klien dapat menyebutkan tanda dan gejala yang terjadi selama pengobatan
-       Klien dapat melakukan personal hygine setiap hari
Intervensi            :
1)   Ciptakan lingkungan yang kondusif dengan klien mengenai perubahan body image yang dialami
R/ Lingkungan yang kondusif dapat memudahkan klien untuk mengungkapkan perasaannya
2)   Beri penguatan terhadap mekanisme koping yang positif
R/ Membantu klien dalam meningkatkan dan mempertahankan kontrol dan membantu mengembangkan harga diri klien
3)   Berikan informasi pada klien mengenai gejala yang berhubungan dengan pengobatan
R/ Dengan diberikan penjelasan tersebut, klien dapat menerima perubahan pada dirinya
4)   Diskusikan dengan klien tentang perasaan klien karena perubahan tersebut
R/ Mendiagnosa perubahan konsep diri didasarkan pada pengetahuan dan persepsi klien
5)   Jaga privacy klien
R/ Meningkatkan harga diri klien
6)   Beri dukungan pada klien dan jadilah pendengar yang baik
R/ Memberikan dukungan dapat memotivasi klien untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar

7)   Kolaborasi dengan ahli psikolog
R/ Pasien mungkin membutuhkan dukungan selama berhadapan dengan proses jangka panjang ketidakmampuan
Dx. 7                  :
-       Perubahan proses pikir berhubungan dengan sekresi cortisol berlebih.
Tujuan                 :
-       Klien menunjukkan Tidak terjadi perubahan proses pikir.
Kriteria Hasil       :
-       Klien mempraktekkan teknik relaksasi.
-       Klien mendiskusikan perasaannya dengan mudah.
-       Klien dapat berorientasi terhadap lingkungan.
Intervensi            :
1)   Orientasikan pada tempat, orang dan waktui.
R/ Dapat memolong mempertahankan orientasi dan menurunkan kebingungan.
2)   Tetapkan jadwal perawatan rutin untuk memberikan waktu istirahat yang teratur.
R/ Menaikkan orientasi dan mencegah kelelahan yang berlebihan.
3)   Anjurkan klien untuk melakukan perawatan diri sendiri sesuai kemampuan.
R/ Mempertahankan orientasi pada lingkungan.
4)   Ajarkan teknik relaksasi.
R/ Teknik relaksasi dapat mempengaruhi proses pikir, sehingga klien dapat lebih tenang.
5)   Berikan tindakan yang stabil, terang dan tidak menimbulkan stress.
R/ Tindakan yang stabil, tenang dan tidak menimbulkan stress memperbaiki proses pikir.
Dx. 8                  :
-       Defisit perawatan diri berhubungan dengan penurunan masa otot
Tujuan                 :
-       Klien menunjukkan perawatan diri yang maksimal.
Kriteria Hasil       :
-       Kelemahan (-)
-       Keletihan (-)
-       Klien ikut serta dalam aktivitas perawatan diri.
-       Klien mengalami peningkatan dalam perawatan diri.
-       Klien bebas dari komplikasi imobilitas.
Intervensi            :
1)   Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas perawatan diri.
R/ Dapat mengetahui kemampuan klien dan memudahkan intervensi selanjutnya.
2)   Bantu klien dalam melakukan aktivitas perawatan diri.
R/ Pemenuhan kebutuhan perawatan diri klien.
3)   Libatkan keluarga dalam aktivitas perawatan diri klien.
R/ Keluarga merupakan orang terdekat dalam pemenuhan kebutuhan perawatan diri klien.
4)   Rencanakan aktivitas dan latihan klien.
R/ Istirahat klien tidak terganggu dengan adanya aktivitas dan latihan yang terencana.
5)   Berikan dorongan untuk melakukan perawatan diri kepada klien dan atur aktivitasnya.
R/ Dapat mencegah komplikasi imobilitas.
6)   Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman
R/ Lingkungan yang tenang dan nyaman dapat menaikan istirahat dan tidur.
Dx. 9                  :
-       Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai pengobatan, proses penyakit dan perawatan.
Tujuan                 :
-       Pengetahuan klien bertambah.
Kriteria Hasil       :
-       Klien mengatakan pemahaman penyebab masalah.
-       Klien mendemonstrasikan pemahaman tentang pengertian, etiologi, tanda dan gejala serta perawatannya.
-       Klien mau berpartisipasi dalam proses belajar.
Intervensi            :
1)   Kaji pengetahuan klien tentang etiologi, tanda dan gejala serta perawatan.
R/ Membuat data dasar dan mengidentifikasi kebutuhan terhadap informasi.
2)   Identifikasi data dasar / gejala harus dilaporkan dengan segera pada pemberi pelayanan kesehatan.
R/ Evaluasi dan intervensi yang segera dapat mencegah terjadinya komplikasi.

3)   Berikan informasi tentang perawatan pada klien dengan sindrom cushing.
R/ Mempermudah dalam melakukan intervensi dan menaikan pengetahuan klien.
4)   Berikan perlindungan (isolasi) bila diindikasikan.
R/ Teknik isolasi mungkin diperlukan unutk mencegah penyebaran / melindungi pasien dari proses infeksi lain.
5)   Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R/ Therapi antibiotik untuk mengurangi resiko terjadinya infeksi nosokomial.
6)   Kolaborasi pemeriksaan lab (leukosit)
R/ Leukosit yang meningkat indikasi terjadinya infeksi.






















DAFTAR PUSTAKA
Doenges Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta:ECG
Ganong, F. William. 1999. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Ed 17. Jakarta : Penerbit EGC.
Guyton A. C, Hall J.E. 1996. Textbook Of Medical Physiology, Ed 9. Philadelphia : W.B.Saunders Company.
Haznam W.M. 1991. Endokrinologi, Ed. 4. Bandung : Percetakan angkasa offset.
Lawrence M. T. Jr, Stephen J. McP, Maxine A. P. 2001. Current Medical Diagnosis And Treatment. McGraw : Hill Companies.
Price, Sylvia. 2005. Patofisiologi. Edisi 6. Jakarta : EGC
Saputra, Lyndon dr. 2002 . Kapita selekta kedokteran jilid 1. Batam:Binarupa Aksara.
Sjamsuhidayat, R, Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah-Ed.2. Jakarta : EGC.